"catatan mantan seorang demonstran"
Monday, November 20, 2006
KRISIS MEMBACA

Dalam sebuah penelitiian serta tes yang diselenggarakan International Education Achievement IEA - asosiasi internasional untuk evaluasi dan pencapaian pendidikan – kita melihat ternyata murid SD Indonesia hanya ada di peringkat kedua dari bawah. (Kompas, 30/4). Bahkan menurut pengamat pendidikan Dr. Mochtar Buchori dibandingkan sesama negara anggota ASEAN saja, kita sudah kalah. Jangankah dengan Singapura, dengan Malaysia dan Thailand pun, tingkat pencapaian pendidikan kita sulit bersaing,

Dalam tes tersebut dibandingkan dengan Thailand, Indonesia unggul sedikit di bidang daya tampung anak usia sekolah pada tingkat dasar dan menengah. Pada tingkat dasar, daya serap Indonesia mencapai 115 persen (artinya sebagian dari mereka yang belajar di jenjang ini adalah di atas anak usia SD), sedangkan di Thailand baru 97 persen. Untuk sekolah menengah, Thailand baru menyerap 33 persen dan Indonesia sudah mencapai 38 persen, Namun dibanding Malaysia dan Singapura - khusus untuk tingkat sekolah menengah - dua negara jiran itu jauh melampaui Thailand dan Indonesia, masing-masing 58 dan 74 persen. Sedangkan untuk perguruan tinggi, Singapura ada di urutan teratas dengan pencapaian 28 persen. Pada tingkat ini Indonesia baru 10 persen

Apa yang telah terjadi ?

Tidak dapat dipungkiri kenyataan diatas terkait dengan kemampuan menulis dan membaca murid kita yang masih sangat memprihatinkan. Dan dengan budaya yang semakin mengerdil ditingkatan anak ditambah serangan media yang tak pandang bulu “menghajar” sudut-sudut ruang intelektual mereka (anak) termasuk kita sebagai orang tua dan pengajar.

Ketidakmampuan beradaptasi pada hal-hal yang positif diakibatkan skala prioritas yang tidak jelas. Kini membangun budaya cultural yang lebih intelektual justru dianggap tidak berkwalitas dinegeri ini. Maka jangan salah jika acara di TV quiz-quiz dan infotaiment lebih besar porsinya daripada media intelektual itu sendiri.

Ditingkatan yang lebih kecil (keluarga) ketidakpedulian kita dalam hal yang sederhana (membaca) inilah menjadi pangkal akumulasi perubahan perilaku anak murid kita, kita justru lebih banyak mengeluarkan post anggaran rutin yang berhubungan dengan materi ketimbang membelikan buku baru tiap bulannya bagi anak kita. Sebagai catatan sudahkah kita menghiasi kamar anak kita dengan buku-buku yang bermanfaat, seperti cerita fiksi,novel, tokoh sejarah , karya ilmiah dan lainnya.

Ya, kebiasaan membaca memang harus dimulai dari stakeholder terkecil, bahkan sekolah-sekolah di China tercatat mempunyai jumlah 5000 koleksi buku, harus diakui memang minat baca di Indonesia masih sangat rendah, terutama di Jawa Barat. Sebagai parameter adalah kemampuan komprehensif yang hanya 36,5% dan kecepatan baca yang hanya 200 hingga 300 kata per menit. Belum lagi apresiasi baca yang belum baik. Hal itu dipeparah dengan daya dorong yang masih kurang. Misalnya jumlah koleksi buku yang dimilik setiap sekolah rata-rata hanya berkisar 200-300 eksemplar, jelas sangat berbeda dengan China.

Semua berperan

Saya jadi teringat dengan kata-kata Prof. Dr. Sunardi, M.Sc salah satu dosen saya dari UNS bahwa Kegagalan pendidikan itu berkorelasi dengan realitas perilaku masyarakat. Sebenarnya masalah keengganan dalam hoby membaca dan tulis tersebut bukan hanya tanggung jawab sekolah, tetapi juga merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan sekolah. Bahkan Kegagalan dalam pembinaan etika, moral, dan kepribadian. Sangat salah besar jika hanya ditimpakan kepada sekolah, tetapi justru keluarga dan masyarakat yang berperan lebih besar. Jika Thomas alfa Edison berhasil dalam ratusan penelitiannya maka ternyata sejarah mencatat Ibunda Thomas alfa yang selalu setia mengajari, menemani dan membantu membaca serta terus melakukan pengajaran walau tidak sekolah formal. Maka, kini kita seharusnya sedih ketika anak-anak kita malah menghabiskan waktu jalan-jalan ke Mall ketimbang memilah-milah mana buku yang baik bagi dirinya, atau pernahkah terbayang anak kita selalu menunggu kapan edisi terbaru dari Harry potter keluar dari pasaran, setelah ia membaca sekuel sebelumnya. Ya ,Seperti pepatah “bak mendirikan benang yang basah”.

Membangkitkan minat membaca bagi anak harus sudah kita teriakan saat ini. Kita pun yakin suatu hari Negara ini akan lebih baik dari Negara lain. Asal dengan usaha yang kuat dan kesadaran positif bagi anak didik kita. Seperti pendapat Rush Karim, pendidikan sesungguhnya bertugas menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan tertentu dalam masyarakat di masa mendatang.

Maka sebagai ahli waris generasi mendatang sudah kah kita menyiapkan generasi terbaik untuk jamannya kelak.

Maka selamat membaca!

posted by Fajar-Merah @ 7:58 AM  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 
 
About Me

Name: Fajar-Merah
Home: Bekasi, Indonesia
About Me: Catatan mantan seorang Demonstran
See my complete profile
Previous Post
Archives
Shoutbox

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.

Links
Powered by

Isnaini Dot Com

BLOGGER