"catatan mantan seorang demonstran"
Friday, November 10, 2006
SEWINDU REFORMASI 1998
Kemarin media kita kerap sekali untuk memberitakan berita tentang kasus Mulyana Kusumah, kasus penyuapan kepada auditor BPK Chairiansyah sebesar 300 juta. Ibaratnya sebuah sandiwara Mulyana ditangkap seperti maling ayam yang kepergok basah dan sudah diincar warga sejak lama, bahkan salah satu pimpinan KPU ini terbukti secara menyakinkan membawa barang bukti uang sebesar 150 juta rupiah.

Yang menjadi menarik kasus ini adalah hubungannya dengan nasib masa depan prodemokrasi kita yang semakain tidak jelas konsep dan arah tujuannya, siapun tahu seorang Mulyana beliau termasuk pendekar Prodemokrasi yang cukup disegani pemerintah dengan proyek Pemantau Pemilunya ditahun 1999, lulusan krimonolog UI ini juga menjadi salah satu pioneer terbentuknya lembaga independen lainnya diseluruh Indonesia..

Dan diIndonesia sudah menjadi kebiasaan bahwa pelaku korupsi yang melibatkan ekstra ordinanary people ini pasti akan sulit diungkap, baik oleh pihak KPK atau Kejaksaan sendiri, mengingat kasus korupsi Bulog yang melibatkan Akbar Tanjung mantan aktivis gerakan Prodemokrasi 1966 menjadi bukti yang sangat faktual. Kaget dengan kasus Mulyana? jangan kaget sebab pola ini sudah terjadi sejak lama

Bahkan ketika para aktivis masih berbaju mahasiswa bersama-sama tentara (dalam elemen KAMI) berhasil menjatuhkan rezim Soekarno, para aktivis ini langsung mendapat jatah atas “kerjasamanya” oleh Soeharto. Bisa dianggap peralihan Orde Lama ke Orde Baru dimaknai oleh para aktivis ini sebagai ladang uang dan popularitas.

Tercatat ada 13 perwakilan mahasiswa KAMI saat itu yang duduk di kursi MPRS dan DPR-GR seperti Slamet Sukirnanto, T. Zulfadli, Fahmi Idris (Golkar sekarang), Mari’e Muhammad, Firdaus Wadjdi, Soegeng Sardjadi, Cosmas Batubara, Liem Bian Khoen, Djoni Simanjuntak, David Napitupulu, Zamroni, Yozar Anwar dan Salam Sumangat.

Walaupun pada saat itu muncul keinginan mahasiswa diluar parlemen untuk tetap menjadi kekuatan moral (moral forces) negara tetapi “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”. Para tokoh mahasiswa ini tetap mengambil jatah kursi. Bahkan keputusan itu terbukti dengan semakin sulitnya lembaga KAMI bersuara (independensi) dalam suatu kepentingan masyarakat (Demonstrasi-demonstrasi selanjutnya contoh asi dikedubes Uni Sovyet) banyak dan justru semakin terlihat perpecahan politik baik intra ataupun ektra kampus mahasiswa (khususnya aktivis mahasiswa yang tidak kebagian “jatah”). Teriakan Turunkan harga, berantas Korupsi, dan ganyang menteri PKI hanya menjadi slogan yang terlupakan.

Pergeseran yang dramatis ini jelas ahistoris dengan konsep perjuangan sebelumnya bahkan ketakutan itu terbukti dengan munculnya isu korupsi ditubuh KAMI sendiri (khususnya perwakilan mahasiswa yang duduk di MPRS dan DPR-GR) tercatat pers pada saat itu memberitakan terlibatnya beberapa pemimpin KAMI yang duduk dilegislatif dalam manipulasi penyediaan kendaraan bermotor untuk para anggota parlemen. Angota badan legislatif mendapat jatah mobil Holden Spesial dibawah harga pasar (Koran Sinar Harapan 12 Oktober 1967).

Bagaimana mungkin aktivis-aktivis yang memiliki hubungan dekat dengan tokoh-tokoh politik senior atau partai ini, yang juga terlibat dalam kecurangan bisnis atau korupsi tingkat tinggi, dapat menyerang orang-orang yang juga berperilaku sama ?. Jelas mereka justru lebih kejam daripada kaum Komunis saat itu dan ini adalah pengkhianatan pertama gerakan mahasiswa diera transisi demokrasi tahun 1966.

Entah kenapa Pola-pola ini kerap terjadi di sepanjang sejarah Indonesia, apakah kemiskinan Absolute telah terjadi pada diri para aktivis prodemokrasi kita, bahkan sampai sekarang sulit sekali mencari “obat”nya, UU anti korupsi sampai gertakan hukuman gantung pun tidak mempan dinegara ini. Ataukah kata-kata Penjilat , Monopoli, kolusi, korupsi dan nepotisme menjadi hal yang biasa yang akan dan pasti dialami oleh para setiap diri pejuang demokrasi setelah mereka mati-matian melawan sistem tirani rezim ?

Saya sepakat jika ada yang mengatakan bahwa korupsi telah menjadi peradaban di negeri ini, mungkin sangat relevan untuk menatap manusia Indonesia secara antropologis, dibandingkan misalnya dengan manusia Jepang yang lebih disiplin dan berani bertanggung jawab..

Bahkan saya juga lebih sepakat dalam fenomena korupsi dan ketimpangan sosial-politik tidak mengenal jenis manusianya, bisa dikatakan manusia Indonesia agaknya adalah sosok yang mudah meniru watak hipokrit, tamak, korup, tidak jujur, tidak sportif, dan semacamnya, termasuk para alumnus aktivis yang sudah mendapat julukan tikus baru seperti Mulyana contohnya. Ketidak beranian para aktivis-aktivis ini untuk tetap berada dalam jalur memang harus dipertanyakan. Bagaimana kita bisa memprediksi masa depan demokrasi kita jika orang-orang yang kita anggap sebagai pahlawan demokrasi ternyata setali tiga uang dengan para koruptor-koruptor hitam : Memanipulsi, menyuap, berbohong kepada publik, memakan uang rakyat dan pura-pura sakit ketika diperiksa.

Reformasi 98 meninggalkan bebean sejarah yang teramat berat, tidak berlebihan jika para mantan aktiis 98 ini setali tiga uang dengan para seniornya di tahun sebelumnya. Ada rama Pratama yang duduk dilegislatif ada Lutfi iskandar mantan aktivis forkot yang berada di Golkar lalu Bernard hamobong halomoa (famred) yang kini terkuningisasi. Bahkan nama rekan seperjuangan waktu di PRD Budiman sujatmiko justru kini berporos di PDIP.

Permasalahan kini sebetulnya adalah bagaimana kewibawaan sikap para aktivis ini dalam melihat perubahan politik. Banyaknya oknum gerakan mahasiswa baik 98 atau diatasnya saya anggap lemah dalam memahami proses anti kemapanan dalam bersikap, bertindak dan berdialektika baik saat dikampus atau paska dunia kampus. Sehingga yang muncul adalah naluri kontradiktif dengan apa yang selama ini digelorakan dan akhirnya berujung pada pilihan unutk menjalankan nilai serta sikap politik berbeda melalui kendaraan baru .

Sepertinya memang kita harus mengambil pelajaran dari film barat popular yaitu tentang figure Shane, seorang koboi yang sendirian , yang datang membela penduduk kota dari serangan para bandit yang merampok, memperkosa dan menjarah distrik kota tersebut. Setelah para bandit dikalahkan dan ditumpas, dan ketika penduduk kota sedang merundingkan hadiah apa yang akan diberikan kepada penolong mereka itu, Shane diam-diam pergi meninggalkan kota itu, menuju perbukitan.

Apakah ada diantara anda para aktivis berani seperti ini ?.

Fajar Merah

Pemerhati Aktivis Indonesia

posted by Fajar-Merah @ 6:48 AM  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 
 
About Me

Name: Fajar-Merah
Home: Bekasi, Indonesia
About Me: Catatan mantan seorang Demonstran
See my complete profile
Previous Post
Archives
Shoutbox

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.

Links
Powered by

Isnaini Dot Com

BLOGGER